Indonesia memiliki banyak tokoh yang mencatatkan namanya dalam sejarah, berkontribusi bagi ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Salah satunya adalah Profesor Achmad Mochtar, sosok cerdas yang menghadirkan lembaran baru dalam dunia medis, meskipun hidupnya berakhir tragis di tengah penjajahan Jepang.
Sejarah kehidupan Mochtar dimulai pada tahun 1944 saat dia dijemput oleh polisi militer Jepang dari rumahnya di Jakarta. Tuduhan beredar bahwa vaksin dari Eijkman Instituut, yang dia pimpin, bertanggung jawab atas kematian sejumlah romusha.
Penangkapan ini terjadi usai kematian ratusan romusha yang disebabkan oleh suntikan vaksin, sebuah kesalahan yang tidak ada buktinya. Mochtar menjadi korban dari ketidakadilan yang terjadi di masa itu, dijebloskan ke penjara Kempetai di Jakarta.
Kekejaman di Penjara dan Nasib Tragis Mochtar
Di penjara Kempetai, Mochtar mengalami siksaan yang menyakitkan bersama ilmuwan lainnya. Proses interogasi yang brutal menciptakan suasana mencekam, di mana suara raungan kesakitan mengisi area sekitar penjara.
Selama masa penahanannya, tekanan batin dan fisik membuat hidup Mochtar semakin sulit, dan pada 3 Juli 1945, nasib tragisnya dipenuhi dengan eksekusi. Dalam satu momen yang kelam, ia dipenggal, dan tubuhnya terpisah dari kepala.
Para rekan ilmuwan yang sebelumnya ditangkap bersamanya akhirnya dibebaskan, sementara nasib buruk menimpa Mochtar. Bertahun-tahun kemudian, terungkap bahwa dia dan institusinya tidak terlibat dalam kematian romusha tersebut.
Pengungkapan Kebenaran Setelah Bertahun-tahun
Setelah tragedi itu, banyak penelitian dilakukan untuk menemukan kebenaran mengenai kematian romusha. Penelitian oleh Sangkot Marzuki dan Kevin Baird mengungkap bahwa Mochtar tidak bersalah dalam peristiwa ini dan menjadi korban pencemaran nama baik.
Berdasarkan studi mereka, ternyata ilmuwan Jepang yang melakukan eksperimen vaksin terhadap romusha sebenarnya berada di balik kematian tersebut, menjadikan Mochtar sebagai kambing hitam.
Kemudian, peneliti menemukan bahwa kematian Mochtar juga terkait dengan persaingan ilmiah yang bersejarah. Pembangkangan Mochtar terhadap klaim Noguchi Hideyo, seorang ilmuwan Jepang ternama, menjadi salah satu alasan di balik nasib tragisnya.
Siapa Noguchi Hideyo dan Dampaknya pada Mochtar?
Noguchi Hideyo adalah ilmuwan yang dikenal karena kontribusinya di bidang kedokteran, termasuk penelitian mengenai sifilis dan demam kuning. Namun, hasil penelitian tersebut dikritik oleh Mochtar yang membuktikan bahwa penyakit Weil lebih relevan dengan bakteri yang dibahas oleh Noguchi.
Kritik ini bukan saja menantang hasil penelitian Noguchi tetapi juga berpengaruh besar pada reputasinya. Meski Noguchi mencoba membela teorinya dengan eksperimen pribadi, hasilnya tragis dan berujung pada kematiannya.
Kemangkatan Noguchi membawa dampak langsung terhadap reputasi Mochtar yang sempat menyalakan kontroversi di dunia medis pada saat itu. Hal ini menciptakan potensi dendam dari pihak penjajah Jepang terhadap Mochtar.
Warisan dan Kenangan yang Terlupakan
Sekalipun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa Mochtar tidak terlibat dalam kematian romusha, namanya tetap terlupakan di tanah airnya sendiri. Sementara itu, Noguchi, yang berrepurasi baik di Jepang, tetap dikenang sebagai pahlawan ilmu pengetahuan.
Wajah Noguchi bahkan terpampang di mata uang Jepang, sebagai penghormatan atas kontribusinya, yang kontradiktif dengan nasib Mochtar yang berakhir tragis. Padahal, dia hanya berpihak pada kebenaran ilmiah dan pengabdian kepada bangsa.
Kisah hidup dan kematian Profesor Achmad Mochtar menjadikan kita merenungkan sejarah kelam yang sering terlupakan. Melalui pengorbanan dan perjuangannya, kita belajar tentang pentingnya keadilan dan pengakuan terhadap para pahlawan yang berjuang demi kebenaran.