Mali baru-baru ini mengumumkan kebijakan baru yang mengharuskan warga negara Amerika Serikat membayar uang jaminan sebesar US$10.000 atau sekitar Rp160 juta untuk visa bisnis dan turis. Kebijakan ini dianggap sebagai respons terhadap langkah mirip yang diambil oleh pemerintah AS yang dikelola oleh Donald Trump, yang melibatkan program jaminan visa yang kontroversial.
Keputusan Mali ini diharapkan dapat menegaskan posisi negara tersebut di panggung internasional dan menjaga keseimbangan dalam hubungan bilateral dengan AS. Pengumuman ini mendapatkan perhatian luas, terutama mengingat dampaknya terhadap hubungan perdagangan dan pariwisata antara kedua negara.
Kedutaan Besar AS di Mali menjelaskan bahwa kebijakan ini akan mulai berlaku efektif pada 23 Oktober 2025. Jaminan tersebut akan diperlukan untuk semua jenis visa yang diajukan oleh warga negara AS, yang menunjukkan adanya perubahan signifikan dalam pendekatan terhadap visa dan perjalanan internasional.
Pemahaman Tentang Kebijakan Jaminan Visa di Mali
Program jaminan visa yang baru ini bertujuan untuk menjamin kepatuhan terhadap syarat visa bagi pelancong. Menurut pemerintah AS, dana tersebut akan dikembalikan kepada pelancong setelah mereka meninggalkan AS sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ini menandakan adanya perubahan dalam cara visa ditangani oleh kedua negara.
Melalui kebijakan ini, Mali mengharapkan dapat menjamin penyelenggaraan visa yang lebih adil dan seimbang. Pemerintah Mali melihat langkah ini sebagai salah satu cara untuk melindungi kepentingan nasional mereka di tengah situasi global yang berubah.
Kebijakan ini tidak hanya menghadirkan tantangan bagi pelancong, tetapi juga memberikan tekanan pada hubungan diplomatik antara Mali dan AS. Sebelumnya, visa jangka panjang dengan beberapa kali masuk telah menjadi bagian dari perjanjian bilateral yang sudah ada, dan kebijakan baru ini dianggap merusak kesepakatan tersebut.
Dampak Kebijakan Terhadap Hubungan Bilateral
Pemerintah Mali dalam pernyataannya menyampaikan penyesalan atas keputusan sepihak dari AS dan mencatat bahwa tindakan ini dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan diplomatik. Mereka berupaya untuk membangun dialog konstruktif dengan pihak AS agar kebijakan ini dapat ditinjau kembali. Ini menunjukkan keinginan Mali untuk tetap menjalin hubungan baik meskipun terdapat perbedaan kebijakan.
Pengumuman ini diharapkan mendorong diskusi lebih lanjut terkait perlunya pendekatan yang lebih saling menguntungkan dalam isu-isu imigrasi dan visa. Mali ingin memastikan bahwa mereka tidak diperlakukan secara berbeda dibandingkan negara-negara lain di wilayah tersebut.
Data yang dipublikasikan oleh Departemen Luar Negeri AS menunjukkan bahwa jumlah visa non-imigran yang diterbitkan untuk warga Mali sangat rendah. Dengan situasi ini, langkah yang diambil oleh Mali mungkin akan berdampak pada jumlah visanya sendiri yang dikeluarkan untuk warga negara AS.
Tanggapan Global Terhadap Kebijakan Visa Mali
Banyak negara lain juga mulai menilai kembali kebijakan visa mereka sebagai respons terhadap kebijakan imigrasi yang ketat di AS. Contohnya, Zambia dan Malawi telah diberlakukan kebijakan serupa, dengan jaminan visa yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa tren ini mungkin akan terus berlanjut di kawasan tersebut.
Pemerintah Zambia sebelumnya juga telah menyatakan keprihatinan atas “ketegangan finansial yang tidak perlu” akibat kebijakan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan visa yang ketat dapat menyebabkan dampak ekonomi yang lebih luas, di mana negara-negara tersebut berpotensi kehilangan pendapatan dari sektor pariwisata.
Mali, dalam hal ini, tampaknya ingin mengatur visa dengan cara yang serupa untuk menjaga keseimbangan. Kebijakan ini dapat dilihat sebagai langkah untuk mendapatkan perhatian yang lebih besar dalam percaturan politik internasional, terutama dengan kekuatan besar seperti AS yang mungkin tidak selalu berpihak pada negara-negara kecil.











