Keputusan Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk menjatuhkan sanksi kepada Indonesia baru-baru ini menarik perhatian dunia. Hal ini disebabkan oleh penolakan visa terhadap atlet Israel yang hendak berlaga di Kejuaraan Dunia Senam Artistik di Jakarta, yang rencananya akan digelar bulan ini.
Kasus ini bukanlah yang pertama kalinya Indonesia berhadapan dengan sanksi IOC. Sejarah mencatat, pada tahun 1963, Indonesia juga dikenakan hukuman serupa karena menolak kehadiran atlet Israel. Tindakan ini membawa dampak politik dalam konteks Olimpiade yang lebih luas dan mengundang reaksi dari berbagai kalangan.
Menggali Akar Peristiwa Penolakan Terhadap Israel
Penyebab sanksi IOC terhadap Indonesia berakar dari Asian Games keempat yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1962. Di saat itu, Indonesia dengan tegas menolak memberikan visa kepada atlet Israel dan Taiwan berdasarkan pertimbangan politik yang mendalam.
Dalam pandangan Indonesia, mengizinkan kehadiran Israel berarti secara tidak langsung mengakui penjajahan terhadap Palestina. Di sisi lain, Taiwan juga tidak diakui sebagai negara karena dianggap bagian dari Republik Rakyat China, sehingga Indonesia berpegang pada prinsip politik luar negeri yang kuat.
Tindakan ini berujung pada penilaian IOC bahwa Indonesia mengotori prinsip dasar olahraga dengan politik. Akibatnya, pada Februari 1963, keanggotaan Indonesia dicabut dan partisipasinya di ajang Olimpiade ditunda.
Reaksi Indonesia Terhadap Pencabutan Keanggotaan IOC
Alih-alih mengakui sanksi tersebut, pejabat Indonesia secara bersatu menolak keputusan IOC. Menteri Olahraga Maladi, misalnya, menyatakan keprihatinan dan mengecam tindakan IOC sebagai bentuk kesewenangan.
Maladi menyebut bahwa keputusan IOC dipengaruhi oleh kepentingan politik dari negara-negara tertentu, terutama terkait dengan Israel dan Taiwan. Dia mengklaim bahwa lembaga tersebut seharusnya menjunjung tinggi semangat Olimpiade dan bukan terjebak dalam politik global.
Lebih lanjut, Maladi mengajukan contoh Olimpiade 1948 di Inggris, di mana Jepang dan Jerman tidak diundang karena pengaruh Perang Dunia II. Dalam kasus ini, IOC tidak mengambil tindakan serupa terhadap negara-negara tersebut, yang jelas menunjukkan ketidakadilan dalam perlakuan terhadap Indonesia.
Langkah Soekarno Menghadapi Sanksi IOC
Pencabutan keanggotaan IOC membuat Presiden Soekarno bertindak lebih lanjut. Ia mengeluarkan perintah untuk keluar dari IOC dan mendirikan sebuah Olimpiade tandingan. Ini merupakan reaksi nyata terhadap sanksi yang dianggap tidak substansial dan tidak adil.
Dia menekankan pentingnya membangun GANEFO, yaitu Games of The New Emerging Forces, yang ditujukan untuk negara-negara yang baru merdeka dari penjajahan. Di sini, Soekarno mencoba menciptakan identitas baru bagi negara-negara tersebut di arena internasional.
GANEFO tercipta sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme, di mana hanya negara-negara yang dianggap sebagai “New Emerging Forces” yang diundang berpartisipasi. Indonesia berkomitmen untuk menjadikan ajang ini sebagai alternatif dari Olimpiade yang dikooptasi oleh kepentingan politik negara-negara besar.
Tanda Kemandirian dan Identitas Bangsa
GANEFO I akhirnya dilaksanakan pada tanggal 10-22 November 1963 di Jakarta, diikuti oleh 10 negara dari berbagai belahan dunia. Keberhasilan ajang ini membawa perhatian internasional kepada Indonesia, yang menunjukkan bahwa negara tersebut mampu menyelenggarakan acara bertaraf internasional meskipun dalam keterbatasan.
Bagi Soekarno, GANEFO lebih dari sekadar kompetisi olahraga. Ia melihatnya sebagai platform untuk mengekspresikan solidaritas bangsa-bangsa yang tertindas dan melawan kekuatan dominan di dunia. Ini juga menjadi peluang untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia berdiri di atas kaki sendiri.
Setelah GANEFO I di Jakarta, ajang ini dilanjutkan dengan GANEFO II di Kamboja tiga tahun kemudian. Meskipun rencana untuk menjadikan GANEFO sebagai event rutin tidak terwujud, ajang ini tetap dikenang sebagai simbol perjuangan Indonesia melawan dominasi Barat dalam arena internasional.










