Sejarah bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari figura Soeharto, yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Pelbagai program dan proyek infrastruktur yang diluncurkannya selama masa kepemimpinannya menjadi fondasi penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia.
Akan tetapi, ada sisi lain yang kurang diketahui publik mengenai Soeharto dan julukan tersebut. Ternyata, sebutan “Bapak Pembangunan” adalah bagian dari strategi intelijen untuk memberi sinyal bahwa sudah saatnya ia mundur dari tampuk kekuasaan.
Diungkapkan oleh Kepala BAKIN, Yoga Sugomo, dalam autobiografinya, situasi ini bermula pada awal 1980-an saat Soeharto telah menjabat selama tiga periode. Pada saat itu, banyak yang merasa bahwa kepemimpinan yang terlalu lama dapat menciptakan masalah, termasuk dampak negatif pada stabilitas politik di Indonesia.
Yoga dan sahabatnya, Ali Moertopo, berpendapat bahwa generasi baru seharusnya diberi kesempatan untuk memimpin. Mereka melihat bahwa usia Soeharto yang telah mencapai 62 tahun menuntut pemikiran untuk mempersiapkan pemimpin yang lebih muda dan segar.
Mereka percaya bahwa terlalu lama memimpin dapat mengaburkan batas antara kepentingan pribadi dan negara. Oleh karena itu, timbul sebuah operasi rahasia yang bertujuan menciptakan citra positif tentang Soeharto sekaligus memberikan sinyal agar ia mundur dengan terhormat.
Operasi Rahasia yang Mengubah Citra Soeharto
Pada tahun 1981, tepatnya saat Festival Film Indonesia (FFI), operasi ini mulai dijalankan. Untuk pertama kalinya, publik melihat spanduk besar bergambar Soeharto dengan tulisan “Bapak Pembangunan Nasional”.
Media massa pun turut mendukung dengan menyebarluaskan gelar tersebut, menekankan bahwa masyarakat menginginkan Soeharto diberi penghargaan itu. Ali Moertopo bahkan berpendapat bahwa gelar tersebut layak diberikan karena berhasilnya pemerintah Orde Baru dalam mendorong pembangunan.
Menurut Ali, kondisi Indonesia pada saat itu sangat berbeda dibandingkan dengan era sebelumnya. Dia menyatakan bahwa masyarakat Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam pembangunan, sehingga layak mendapatkan penghargaan ini.
Namun, strategi Yoga dan Ali ternyata membuahkan hasil yang berlawanan. Soeharto justru menggunakan gelar “Bapak Pembangunan” untuk memperkuat kekuasaan yang sudah ada. Ia seolah mendapatkan dukungan yang luas dari masyarakat.
Sejumlah pihak lainnya pun mulai memanfaatkan momentum ini untuk mendekat kepada Soeharto, seolah-olah mendukung gelar tersebut. Hal ini membuat rencana awal untuk mendorong mundurnya Soeharto justru terhambat.
Perkembangan Citra Soeharto dalam Konteks Politik
Puncak dari operasi ini terjadi ketika MPR pada 1983 mengeluarkan TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983 yang mengukuhkan Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Nasional. Ini merupakan langkah legitimasi yang kuat bagi kekuasaannya.
Dengan dukungan yang terlahir dari gelar ini, posisi Soeharto menjadi semakin kuat. Ia memegang tampuk kekuasaan selama 15 tahun lagi, bahkan setelah gelar tersebut diresmikan, menjadi bagian penting dari narasi politik di Indonesia.
Dalam pandangan Yoga, gelar ini telah menjadi instrumen legitimasi yang sangat efektif. Soeharto berhasil menciptakan citra positif yang kuat walaupun di balik itu terdapat kebangkitan oposisi yang mulai tumbuh di kalangan masyarakat.
Semua ini menunjukkan bagaimana strategi komunikasi dan propaganda memiliki peran penting dalam dunia politik. Di balik pencitraan yang sukses, ada banyak cerita dan dinamika yang berlangsung di lapangan.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada niat baik dari pihak tertentu, realitas politik seringkali berbelok jauh dari harapan. Citra Soeharto sebagai Bapak Pembangunan menjadi senjata ampuh untuk melanjutkan kekuasaan yang telah mapan.
Pelajaran dari Sejarah Soeharto dan “Bapak Pembangunan”
Dari kisah ini, banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran berharga. Salah satunya adalah pentingnya memahami konteks politik dan sosial di balik sebuah narasi. Gelar “Bapak Pembangunan” bukan hanya tentang pencapaian fisik, tetapi juga tentang bagaimana citra itu diciptakan dan dipertahankan.
Sejarah mencatat bahwa citra positif bisa dengan mudah dibangun dan diyakini oleh masyarakat, tetapi penegasan legitimasi akan tetap menjadi tantangan terpisah. Dalam hal ini, Soeharto berhasil menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya diukur dari prestasi, tetapi juga dari kemampuan untuk mempertahankan citra tersebut.
Melalui beragam program dan kebijakan, Soeharto membangun narasi yang menguntungkan dirinya. Namun, ada sisi lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu permasalahan di dalam pemerintahan yang pada akhirnya menjadi faktor ketidakpuasan masyarakat.
Penting bagi generasi sekarang untuk belajar dari sejarah ini, agar tidak terperangkap dalam siklus yang sama. Memahami bagaimana pencitraan dilakukan bisa menjadi bekal untuk menganalisis pemimpin yang ada saat ini.
Dengan mempelajari latar belakang dan strategi politik yang diterapkan, diharapkan masyarakat bisa menjadi lebih kritis terhadap isu-isu politik dan tidak mudah terjebak dalam narasi yang mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kebaikan. Ini adalah perjalanan panjang yang harus terus diingat dan dipelajari dari masa ke masa.











