Sebelumnya, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menilai fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) dan “Rohana” (rombongan hanya nanya) mencerminkan perilaku konsumsi masyarakat yang unik di Indonesia. Namun, ia mengingatkan bahwa situasi ini tidak bisa dilihat secara sepihak.
“Terkait fenomena Rojali-Rohana, memang pasar Indonesia ini unik, tapi jangan lupa bahwa kita ini ada namanya Lipstick Index,” kata Ajib saat ditemui di kantor Apindo, Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Konsep Lipstick Index merujuk pada fenomena di mana masyarakat tetap melakukan konsumsi terhadap produk tersier atau hiburan, meski secara umum daya beli sedang menurun.
“Misalnya begini, teman-teman bisa lihat kalau kita menonton bola atau kalau ada konser-konser, tiket baru keluar saja biasanya kehabisan,” ujarnya.
Ajib menyebutkan, saat ini masyarakat lebih selektif dalam berbelanja kebutuhan pokok, tetapi tetap menyisihkan dana untuk konsumsi hiburan atau barang-barang tersier.
Dia menuturkan, ini bukan semata-mata karena melemahnya daya beli, tapi lebih pada pola konsumsi yang berubah. Ia optimistis bahwa istilah Rojali-Rohana akan memudar seiring membaiknya daya beli masyarakat.
“Jadi, saya pikir Rojali-Rohana ini nanti akan dengan sendirinya mulai hilang, dan mulai berbelanja, saat kemampuan daya beli mereka naik, dan pertumbuhan ekonomi kita bisa bertumbuh sesuai harapan,” katanya.
Pola Konsumsi yang Berubah di Tengah Kesulitan Ekonomi
Fenomena Rojali dan Rohana menunjukkan dinamika unik dalam pola belanja masyarakat. Di tengah tantangan ekonomi, banyak orang masih mencari cara untuk menikmati kehidupan, meskipun belanja kebutuhan pokok menjadi lebih selektif.
Keberadaan Lipstick Index menunjukkan betapa pentingnya aspek emosional dalam konsumsi. Masyarakat berusaha meraih kebahagiaan melalui barang-barang yang tidak selalu esensial, sehingga masih ada ruang untuk pengeluaran di luar kebutuhan utama.
Ketika menghadapi situasi sulit, perilaku konsumsi akan berubah mengikuti kondisi ekonomi. Ini bukan hanya tentang apakah masyarakat mampu membeli, tetapi bagaimana mereka memprioritaskan pengeluaran berdasarkan kebutuhan dasarnya.
Bagaimana Media Sosial Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Perkembangan teknologi informasi, terutama media sosial, sangat mempengaruhi kebiasaan belanja. Orang-orang menjadi lebih terhubung dan terpapar oleh tren yang bisa mempengaruhi keputusan pembelian mereka.
Informasi tentang produk, termasuk diskon atau penawaran menarik, dapat dengan cepat menyebar melalui platform digital. Ini memicu ketertarikan masyarakat untuk tetap terlibat dengan barang-barang tersier, meskipun situasi ekonomi tidak sepenuhnya mendukung.
Media sosial juga menciptakan rasa komunitas, di mana orang merasa lebih tertarik untuk berpartisipasi dalam acara atau membeli produk tertentu yang dibicarakan orang lain. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa meskipun ada keterbatasan, keinginan untuk berinteraksi dan bersenang-senang tetap ada.
Peluang bagi Pelaku Usaha di Tengah Krisis Ini
Bagi pelaku usaha, fenomena Rojali dan Rohana dapat dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang. Mereka harus mampu berinovasi untuk menarik perhatian konsumen yang kini lebih bijaksana dalam pengeluaran.
Strategi pemasaran yang lebih tepat dan memahami pola konsumsi masyarakat bisa menjadi kunci sukses. Hal ini penting untuk menarik konsumen yang berani tetap melakukan konsumsi, meskipun dalam jumlah terbatas.
Usaha yang mampu menghadirkan pengalaman berbelanja yang unik dan menarik akan lebih mungkin untuk mendapatkan perhatian. Ini tentu berimplikasi positif terhadap kelangsungan bisnis di tengah ketidakpastian ekonomi.
Optimisme Ekonomi di Masa Depan
Dalam konteks ini, optimisme tetap harus dijaga. Ajib menilai bahwa meskipun ada tantangan berat, kemampuan daya beli masyarakat berpotensi pulih seiring dengan perbaikan ekonomi secara keseluruhan.
Jika pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat terealisasi, maka perilaku konsumsi masyarakat akan kembali normal. Masyarakat mungkin tidak akan terlalu merasa tertekan dalam memilih antara kebutuhan pokok dan kebutuhan tersier.
Untuk itu, semua pihak harus berkolaborasi menciptakan lingkungan ekonomi yang mendukung, mulai dari pemerintah hingga pelaku bisnis. Dengan langkah bersama, harapan untuk pemulihan daya beli masyarakat bisa terwujud.