Malam itu di Washington DC, suasana Hotel Embassy Row mendadak mencekam. Seorang tamu bernama Dorodjatun tiba-tiba jatuh sakit dengan gejala yang sangat mengkhawatirkan. Suaminya, Norma, mencoba memberikan segelas air, tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil. Muntah yang terus kembali membuat Norman merasa panik karena kondisi suaminya kian memburuk.
Dengan cepat, Norma menyelimuti suaminya dengan sweater dan segera menelepon KBRI untuk meminta bantuan ambulans. Tak lama kemudian, Dorodjatun pun dilarikan ke George Washington Hospital. Di rumah sakit, para dokter bekerja keras melawan waktu demi menyelamatkan nyawanya. Namun, satu jam berlalu tanpa hasil yang menggembirakan, dan kabar duka pun datang.
Akhirnya, seorang dokter keluar dengan wajah muram, mengabarkan berita yang sangat menyakitkan. Dorodjatun, atau yang lebih dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono IX, meninggal dunia pada 2 Oktober 1988 akibat serangan jantung mendadak. Kabar duka ini langsung mengubah suasana di Jakarta, di mana tangis pecah saat berita tersebut tersebar.
Reaksi Mendalam di Tanah Air Setelah Kabar Duka
Sekretaris pribadi Sultan, Meity Minami, langsung mengeluarkan jeritan histeris saat menerima telepon tentang kematian tersebut. Tangisnya mengejutkan seisi rumah di Jakarta di mana Sultan sering menghabiskan waktu. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya rasa kehilangan yang dirasakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
Sejak saat itu, Indonesia kehilangan bukan hanya seorang raja Jawa tetapi juga seorang negarawan yang telah berkontribusi besar bagi negara. Sultan Hamengkubuwono IX dikenal sebagai tokoh penting dalam mempertahankan Republik Indonesia, terutama di masa-masa genting. Pengabdiannya sebagai Wakil Presiden RI menunjukkan dedikasinya untuk rakyat.
Berita ini berdampak luas dan menggugah rasa duka tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Sultan dikenal sebagai sosok yang memiliki kedudukan istimewa dan dihormati, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Kombinasi peran tradisionalnya sebagai raja dan kontribusinya dalam konteks nasional membuatnya menjadi sosok yang berpengaruh.
Penghormatan Khusus dari Pihak Amerika Serikat
Salah satu cerita menarik seputar kematian Sultan adalah tanggapan dari pihak Amerika Serikat. Saat menerima berita duka, Gedung Putih merespons dengan sekumpulan langkah yang menunjukkan penghormatan mendalam. Mereka segera mengadakan Dukungan Misi Udara Khusus untuk memfasilitasi kepulangan Sultan ke Indonesia.
Sebagai bentuk penghormatan, surat rahasia yang diterbitkan oleh Sekretaris Eksekutif Gedung Putih menegaskan bahwa tindakan tersebut adalah simbol niat baik Amerika. Penghormatan yang diberikan dianggap penting untuk menciptakan citra positif antara kedua negara. Sultan bukan hanya menjadi tokoh yang dihormati, tetapi juga simbol hubungan baik antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa Sultan merupakan sosok unik dan sangat dihormati di Indonesia. Melvyn Levitsky dan George P. Cole, dua pejabat tinggi di Gedung Putih, sepakat bahwa kehormatan ini menunjukkan rasa hormat yang besar terhadap Sultan. Mereka menekankan pentingnya sokongan tersebut untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih erat.
Kepulangan Sultan dan Penghormatan Terakhir di Tanah Air
Pemerintah Amerika Serikat menyiapkan Air Force Two, pesawat khusus dengan pengawalan jet tempur, untuk membawa jenazah Sultan. Penghormatan militer diberikan saat pesawat tersebut lepas landas. Seyogyanya, pengawalan penuh ini mencerminkan betapa rendah hormatnya mereka terhadap Sultan sebagai pemimpin dan tokoh bangsa.
Namun, Presiden Soeharto berharap agar jenazah Sultan hanya diantar hingga Hawaii. Dari sana, pemerintah Indonesia akan mengambil alih dan melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Keputusan tersebut dipatuhi dengan hormat oleh pihak AS, menunjukkan sikap diplomatis dalam menghadapi situasi yang mendesak.
Pada 5 Oktober 1988, Air Force Two membawa jenazah Sultan dengan penuh kehormatan. Setelah upacara kehormatan di Hawaii, jenazah Sultan akhirnya diserahkan kepada pihak Indonesia. Ini semua menunjukkan simpati yang mendalam dan saling menghormati antara kedua negara, yang diharapkan dapat berlanjut di masa depan.
Masyarakat Menyambut Kehilangan Besar dengan Air Mata
Jenazah Sultan kemudian mendarat di Jakarta keesokan harinya. Di sepanjang jalan, ribuan warga berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Banyak yang menangis, merasakan kehilangan seseorang yang telah memberikan banyak bagi Yogyakarta dan Indonesia. Kehangatan ini menunjukkan betapa dalamnya rasa cinta rakyat kepada sosok yang sangat sederhana dan bijaksana.
Pemakaman berlangsung di Yogyakarta pada 8 Oktober 1988, di mana ribuan orang menghadiri acara tersebut. Mereka semua datang untuk melepas kepergian raja yang terkenal dengan sikapnya yang merakyat. Sosok Sri Sultan HB IX kini tinggal kenangan, tetapi warisannya tetap hidup dalam ingatan banyak orang.
Kisah hidup Sultan Hamengkubuwono IX adalah cerminan perjalanan bangsa ini dalam menghadapi tantangan demi kesejahteraan masyarakat. Kehadirannya dalam sejarah negara telah menorehkan banyak pelajaran berharga tentang kepemimpinan, kebijaksanaan, dan cinta akan tanah air. Kita semua berharap bahwa semangat dan nilai-nilai yang diajarkan dapat terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang.











