Pada tahun 1961, misteri yang mengguncang dunia terjadi saat seorang pria bernama Michael Rockefeller hilang di Papua. Keberadaannya yang tak terjawab hingga kini menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga peneliti.
Michael adalah seorang antropolog muda yang memiliki keinginan besar untuk memahami kehidupan suku-suku terpencil. Mengikuti ekspedisi yang ditujukan untuk mempelajari suku Asmat, Michael tidak menyangka bahwa perjalanan tersebut akan mengubah hidupnya selamanya.
Dari keluarga Rockefeller yang dikenal luas, Michael memiliki latar belakang yang unik. Dengan ayahnya sebagai Gubernur New York dan hubungan dekat dengan berbagai tokoh penting, keyakinan akan keberhasilan dalam program ini sangat tinggi.
Misi Penelitian yang Berani di Papua
Pada bulan November, Michael tiba di Papua setelah menempuh perjalanan panjang dari Amerika Serikat. Bersama tim dari Universitas Harvard, ia memulai penelitiannya dengan mengunjungi Suku Dani dan kemudian menggali lebih dalam kehidupan mereka melalui film dokumenter berjudul Dead Birds.
Dalam proyek tersebut, Michael tidak hanya berperan sebagai juru kamera, tetapi juga mengumpulkan berbagai artefak seni lokal. Rencananya, artefak-artefak ini akan disimpan di museum milik ayahnya, menambah legasi keluarga yang sudah terkenal.
Walaupun proyek pertamanya selesai, Michael tetap merasa tertarik untuk lebih mendalami kehidupan masyarakat Papua. Saudara kembarnya, Mary, mengungkapkan bahwa keinginan ini tidak padam meskipun setelah menyelesaikan tugasnya sebelumnya.
Petualangan Berisiko Menuju Suku Asmat
Pada perjalanan keduanya, Michael diiringi oleh Rene Wassing, seorang ahli seni dari Belanda, serta dua pemandu lokal. Mereka berlayar menyusuri Sungai Betsj, yang dikenal akan arusnya yang deras dan banyaknya buaya yang mendiami kawasan tersebut.
Kendati menyadari bahaya di depan mata, mereka tetap melanjutkan perjalanan. Rencana untuk mengeksplorasi lebih jauh wilayah yang belum tersentuh peradaban ini menghadapi banyak tantangan, salah satunya adalah cuaca buruk yang tiba-tiba melanda.
Pada 18 November 1961, bencana terjadi ketika badai menghantam perahu mereka. Air yang semakin deras membuat perahu terbalik, dan para penumpang berusaha untuk bertahan di atas perahu yang terbalik itu.
Keputusan yang Membawa Konsekuensi Besar
Dengan semangat untuk bertahan hidup, Michael memutuskan untuk berenang menuju daratan, mengikat jerigen ke pinggangnya. Meskipun timnya memperingatkannya tentang risiko yang ada, ia percaya bahwa keputusan ini akan menyelamatkan hidup mereka.
Setelah beberapa hari, tiga rekan Michael mencapai tempat istirahat. Namun, mereka tidak menemukan jejak Michael, dan informasi dari penduduk lokal menunjukkan bahwa tidak ada yang melihatnya muncul di daratan.
Ketidakhadiran Michael menciptakan ketegangan di kalangan keluarga Rockefeller. Sang ayah, Nelson Rockefeller, bersama anggota keluarga lainnya segera berangkat ke Papua untuk mengawasi proses pencarian yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Teori dan Spekulasi Mengenai Hilangnya Michael
Tidak adanya kabar mengenai Michael memunculkan berbagai spekulasi dan teori mengenai nasibnya. Salah satu teori yang populer adalah bahwa ia dibunuh oleh suku setempat dan dimakan sebagai bagian dari ritual tradisional.
Namun, banyak yang meragukan teori ini karena kurangnya bukti konkret. Beberapa orang berspekulasi bahwa Michael tenggelam atau mungkin diserang oleh buaya di perairan yang berbahaya tersebut.
Kemungkinan lain yang banyak dibicarakan adalah bahwa ia sengaja menghilangkan diri untuk hidup bersama suku lokal, meninggalkan kehidupan glamor yang selama ini ia jalani. Namun, semua teori ini tetap menjadi misteri yang tidak terpecahkan.
			










