Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan, suasana di Istana Merdeka, Jakarta, dipenuhi dengan kesibukan. Semua staf bekerja keras untuk memastikan setiap detail acara berjalan tanpa kendala, mengingat betapa pentingnya momen tersebut bagi seluruh bangsa.
Kesigapan semua pihak sangat krusial, mengingat tidak ada toleransi terhadap kesalahan sekecil apa pun pada upacara yang sangat sakral ini. Hari itu dipersembahkan untuk menghormati peristiwa bersejarah bagi negara yang sudah merdeka lebih dari dua dekade.
Perayaan 17 Agustus 1967 bukan hanya sekadar peringatan biasa; itu adalah momen penting. Di sinilah Soeharto berdiri untuk pertama kalinya sebagai Penjabat Presiden Indonesia, usai mendapatkan mandat dari MPRS pada Maret 1967, meskipun secara resmi baru dinyatakan sebagai Presiden ke-2 pada tahun berikutnya.
Acara tersebut dipenuhi harapan dan antisipasi, terutama bagi Soeharto. Melihat banyak pelaksanaan upacara di bawah kepemimpinan Soekarno selama bertahun-tahun, semua fokus tertuju pada bagaimana jenderal ini akan memimpin momen sakral tersebut.
Namun, ketika persiapan sudah matang, datang berita yang mengguncang panitia. Sekitar 60 jam sebelum upacara dimulai, kabar mengejutkan muncul: Bendera Pusaka Merah Putih, yang bersejarah, tidak dapat ditemukan di Istana Merdeka. Ini adalah bendera yang merupakan simbol kemerdekaan dan hanya dikibarkan setahun sekali pada tanggal 17 Agustus.
Bendera ini dijahit oleh Ibu Negara Fatmawati pada tahun 1945 dan memiliki makna mendalam bagi bangsa. Hilangnya bendera pusaka di saat-saat krusial menimbulkan kekhawatiran dan potensi kekecewaan publik yang sangat besar.
Upaya Menemukan Bendera Pusaka yang Hilang
Maraden Panggabean, yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, segera mengambil tindakan. Ia meminta agar seluruh staf istana melakukan pencarian di berbagai laci dan lemari, berharap menemukan bendera tersebut sebelum terlambat.
Namun, pencarian yang dilakukan tidak membuahkan hasil. Ketiadaan bendera membuat panik melanda staf, dan berita ini mulai bocor ke media, menambah keruh suasana. Media mulai meliput dan memberitakan hilangnya bendera pusaka, menimbulkan opini publik yang semakin panas.
Dalam konteks ini, Soekarno menjadi sorotan, mengingat ia adalah presiden pertama Indonesia yang menyaksikan banyaknya harapan dari rakyat. Perubahan kekuasaan membuat orang bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan benda simbolis yang begitu berharga itu.
Saat itu, peliputan media mengungkapkan bahwa Istana Merdeka telah dikosongkan oleh Soekarno. Ternyata, saat meninggalkan istana, ia membawa sejumlah barang pribadi yang diduga termasuk bendera pusaka. Dengan kekhawatiran semakin meningkat, Maraden Panggabean pun bergegas menemui Soekarno yang kini tinggal di Bogor.
Dugaan bahwa Soekarno menyimpan bendera tersebut ternyata benar. Namun, saat ditemui, Soekarno menunjukkan penolakan untuk menyerahkannya begitu saja. Dia mempertanyakan kesanggupan TNI AD dalam menjaga bendera kebanggan negara, sebuah pertanyaan yang menunjukkan rasa cemasnya.
Dialog Antara Soekarno dan Pihak Pemerintah
Maraden berusaha meyakinkan Soekarno bahwa bendera pusaka akan aman dan terlindungi. Meskipun demikian, Soekarno tetap bersikukuh untuk menyerahkan bendera hanya bila tempat tinggalnya kembali ke Jakarta. Ini menambah tantangan kepada pemerintah yang sudah berada di bawah tekanan waktu.
Maraden pun melaporkan keadaan ini kepada Soeharto, yang kini harus berhadapan dengan masalah besar yang bisa menggangu jalannya upacara. Dalam wartawan yang meliput situasi tersebut, dijelaskan bagaimana kekhawatiran akan nasib bendera pusaka masih membayangi, membuat semua pihak bertanya-tanya apakah bendera itu akan berhasil dikibarkan atau tidak.
Pemerintah juga menyiapkan opsi cadangan, yakni mengibarkan bendera Merah Putih biasa. Namun, harapan tetap ada, dan Maraden berusaha meyakinkan Soekarno untuk menyerahkan bendera tersebut. Akhirnya, dia diizinkan membawa kunjungan ke lokasi penyimpanan yang diinginkan oleh Soekarno.
Setelah melalui perundingan dan beberapa jam berlarut, pada 16 Agustus 1967, kurang dari satu hari sebelum upacara, Bendera Pusaka diserahkan kepada pemerintah. Momen ini penuh haru, dan ketegangan pun mulai mereda saat bendera yang dinanti-nanti akhirnya ada di tangan para penyelenggara.
Peringatan Hari Kemerdekaan yang Bersejarah
Pada 17 Agustus, dengan penuh kebanggaan dan harapan, Bendera Pusaka Merah Putih kembali dikibarkan di langit Jakarta. Ini adalah upacara perdana di bawah kepemimpinan Soeharto, dan semua mata tertuju kepada upacara yang berlangsung lancar dan penuh makna.
Meski momen tersebut berjalan tanpa hambatan, penting untuk dicatat bahwa pengibaran bendera tersebut adalah yang terakhir untuk Bendera Pusaka. Pemerintah kemudian memutuskan untuk menyimpan bendera tersebut secara permanen di Monumen Nasional setelah tahun 1968, sementara setiap perayaan kemerdekaan selanjutnya menggunakan bendera replika.
Peristiwa ini menggambarkan bagaimana simbol kemerdekaan mampu menggabungkan sejarah, emosi, dan harapan bangsa ke dalam satu momen yang sangat sakral. Sejak saat itu, Bendera Pusaka tidak hanya menjadi tolok ukur bagi perjalanan bangsa, tetapi juga pengingat akan pentingnya kompromi dalam kepemimpinan.
Kisah hilangnya Bendera Pusaka Merah Putih dan penemuan yang penuh drama ini lekat dalam ingatan sejarah bangsa. Ini adalah salah satu peristiwa yang menunjukkan bagaimana setiap detil dalam perayaan kemerdekaan bisa menjadi bagian dari narasi yang lebih besar dalam perjalanan bangsa.