Sejak waktu lampau, peristiwa sejarah sering kali membentuk citra dan identitas suatu bangsa. Salah satu peristiwa yang terukir dalam ingatan masyarakat Indonesia adalah eksekusi mati dua prajurit, Usman Janatin dan Harun Thohir, di Singapura, tepat 57 tahun yang lalu. Hukuman mati tersebut pada tahun 1968 menjadi bagian dari sejarah kelam Indonesia dan menjadi cermin dari dinamika hubungan antarnegara.
Usman dan Harun adalah anggota Korps Komando Operasi TNI Angkatan Laut yang terlibat dalam misi kontroversial. Misi ini dimulai dalam konteks Konfrontasi Indonesia-Malaysia, sebuah kebijakan agresif berdasarkan pandangan Presiden Soekarno yang menentang pembentukan Federasi Malaysia. Melalui latar belakang ini, tragedi yang menimpa mereka dapat dipahami lebih dalam.
Pada 10 Maret 1965, misi damai yang kini dianggap sebagai teror oleh sebagian orang, dilakukan dengan tujuan mengguncang stabilitas di Singapura. Pada awalnya, rencana ini diharapkan dapat mengurangi ancaman terhadap kedaulatan Indonesia yang diragukan oleh Soekarno.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia dan Latar Belakang Sejarahnya
Konfrontasi ini bermula dari ketidakpuasan Indonesia terhadap rencana pembentukan Federasi Malaysia yang dipimpin oleh Inggris. Soekarno menyaksikan ini sebagai upaya baru dalam penjajahan yang mengancam integritas dan kedaulatan Indonesia. Hal ini mendorong militer Indonesia untuk melakukan berbagai tindakan yang berisiko tinggi.
Usman dan Harun tidak hanya mendaftar sebagai sukarelawan tanpa batas pemikiran. Dalam pikiran mereka, tindakan tersebut adalah panggilan tugas demi negara. Mereka bergabung dengan misi ini pada bulan Maret 1965, yang menandai langkah besar dalam operasi militer Soekarno.
Operasi ini melibatkan infiltrasi ke Singapura dengan menyamar sebagai pedagang. Para prajurit ini membawa bahan peledak, berencana untuk menyerang infrastruktur strategis yang dapat mengguncang keamanan Singapura. Misi ini, meskipun sangat berisiko, dipandang sebagai bagian dari perjuangan melawan kolonialisme baru.
Ledakan di Orchard Road dan Dampaknya
Pada 10 Maret 1965, sebuah ledakan dahsyat mengguncang Orchard Road, saat-bom yang diletakkan di Macdonald House meledak. Ini adalah bagian dari misi besar yang direncanakan oleh Usman dan Harun, dan dampaknya ratusan kali lebih besar dari yang diperkirakan. Tiga orang tewas dan banyak lainnya terluka dalam insiden tragis tersebut.
Ledakan ini menjadi salah satu peristiwa paling kontroversial dan bersejarah di Singapura. Masyarakat setempat terkejut dan terpuruk dalam ketakutan setelah kejadian tersebut. Usman dan Harun yang semula berusaha melindungi integritas bangsa, kini menjadi simbol teror dan ancaman yang nyata.
Setelah melakukan misi, keduanya berusaha melarikan diri menggunakan perahu. Namun, nasib tidak berpihak pada mereka. Mereka ditangkap dan diadili dengan vonis berat karena terlibat dalam teror yang mengakibatkan banyak korban.
Vonis Mati dan Upaya Diplomatik Indonesia
Pada tahun 1966, pengadilan Singapura menjatuhkan vonis mati bagi Usman dan Harun. Upaya diplomatik dari pemerintah Indonesia berusaha mengubah keputusan ini, tetapi semua usaha tersebut sia-sia. Bahkan ketika pergantian kepemimpinan di Indonesia terjadi dari Soekarno ke Soeharto, upaya tersebut tetap tidak membuahkan hasil.
Saat itu, publik di Indonesia melihat mereka sebagai pahlawan yang berjuang demi negara. Berbagai upaya dan harapan untuk mendapatkan grasi tak kunjung membuahkan hasil, menunjukkan bahwa hubungan antara kedua negara semakin merenggang.
Akhirnya, pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dieksekusi mati di Penjara Changi. Jenazah keduanya kemudian dibawa pulang ke Indonesia dan disambut dengan upacara pemakaman yang megah di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Implikasi Sosial dan Sejarah Hubungan Indonesia-Singapura
Peristiwa eksekusi mati ini bukan hanya meninggalkan kesedihan mendalam di Indonesia, tetapi juga menjadi titik krusial dalam hubungan diplomatik dengan Singapura. Di satu sisi, mereka diangap pahlawan, sementara di sisi lain, Singapura menganggap mereka sebagai teroris. Pandangan yang berbeda ini memperlihatkan kompleksitas sejarah hubungan antarnegara di Asia Tenggara.
Dalam perkembangan selanjutnya, hubungan Indonesia dan Singapura mengalami perubahan. Pada tahun 1973, terjadi momen simbolis saat Presiden Singapura, Lee Kuan Yew, mengunjungi makam Usman dan Harun. Tindakan ini dilihat sebagai langkah menuju rekonsiliasi antara kedua negara.
Meskipun hubungan antara Indonesia dan Singapura semakin membaik, bayang-bayang peristiwa tersebut masih terasa. Ketika TNI AL berencana untuk menamai salah satu kapal perangnya dengan nama Usman-Harun, protes dari pihak Singapura kembali muncul, menunjukkan bahwa luka sejarah belum sepenuhnya sembuh.











