Dampak dari budaya patriarki dapat dirasakan di berbagai aspek kehidupan manusia, menyebabkan banyak individu terperangkap dalam stereotip gender yang merugikan. Ketika masyarakat menetapkan norma yang kaku terkait peran gender, banyak orang yang berjuang untuk mengekspresikan diri mereka dengan jalur yang lebih bebas dan otentik.
Menurut Liz Coleclough, seorang pekerja sosial dan spesialis terapi trauma, emosi adalah bagian mendasar dari pengalaman manusia. Setiap individu memiliki hak untuk merasakan dan mengekspresikan emosi mereka tanpa terhalang oleh batasan yang ditetapkan berdasarkan gender.
Pelbagai ekspektasi mengenai bagaimana seseorang seharusnya berperilaku sering kali mendorong individu untuk menyesuaikan diri dengan definisi yang sempit. Hal ini berisiko membatasi perkembangan diri dan menghalangi individu untuk mengeksplorasi potensi mereka secara maksimal.
Persepsi Gender dan Keterbatasan dalam Ekspresi Emosi
Persepsi terhadap apa yang dianggap “layak” untuk tiap gender sering kali membawa konsekuensi yang berbahaya. Wanita, misalnya, diperbolehkan untuk menunjukkan emosi, tetapi hanya dalam batasan tertentu, seperti menangis tetapi tidak marah.
Gagasan ini dapat memperkuat norma sosial yang mendiskriminasikan, memicu reaksi terhadap individu yang melanggar ekspektasi tersebut. Ketika seseorang mencoba berperilaku di luar stereotip yang ditetapkan, mereka sering menghadapi penolakan dan bahkan pengucilan dari masyarakat.
Banyak juga yang merasa terjebak dalam mematuhi deskripsi feminin atau maskulin yang dipaksakan. Ini menimbulkan tantangan bagi orang-orang yang ingin berinteraksi dengan cara yang jauh lebih autentik dan sejati.
Kekerasan Berbasis Gender dan Dampaknya pada Korban
Setiap pembatasan yang diberlakukan pada peran gender dapat membentuk satu pola kekerasan yang berbahaya. Data dari Koalisi Nasional Melawan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menunjukkan bahwa satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan dalam rumah tangga seumur hidup mereka.
Ketidakadilan ini sering kali muncul dari konstruksi sosial yang menetapkan laki-laki diberi kekuasaan, sementara perempuan terbelenggu dalam posisi lemah. Dalam kondisi seperti ini, sangat mengkhawatirkan jika kekerasan menjadi suatu hal yang dianggap normal dalam banyak hubungan.
Selain itu, untuk diakui sebagai “korban”, seseorang sering kali harus mencerminkan sifat-sifat feminin yang diharapkan. Hal ini menciptakan beban tambahan, di mana orang yang melanggar batasan emosional kerap kali menjadi sasaran kritikan.
Menanti Perubahan: Menghadapi Stereotip dan Harapan Kolektif
Upaya untuk mengubah pandangan ini tidak bisa dilakukan secara sepihak. Penting bagi masyarakat untuk mengedukasi diri sendiri tentang keragaman pengalaman manusia dan mendorong penerimaan terhadap berbagai bentuk ekspresi. Tanpa kolaborasi ini, perkembangan yang lebih baik akan terhambat.
Masyarakat perlu beradaptasi dan mengubah pola pikir mengenai gender, termasuk bagaimana kita mendefinisikan kekuatan, kejujuran, dan kerentanan. Ketika orang-orang dapat berbicara secara terbuka tentang emosi mereka tanpa rasa takut dihukum, maka dapat memudahkan jalan untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif.
Perubahan ini juga harus diiringi dengan dukungan bagi mereka yang mengalami kekerasan. Penanganan yang sensitif dan akurat terhadap masalah gender harus dilakukan agar korban tidak merasa lebih tertekan ketika mencoba untuk berbagi pengalaman mereka.