Fenomena kumpul kebo telah menjadi bagian dari budaya di Indonesia yang berakar dari sejarah panjang. Praktik ini tidak hanya sekadar kebiasaan, tetapi juga mencerminkan hubungan antara dua kebudayaan yang berbeda, yaitu antara masyarakat lokal dan para penjajah selama masa kolonial.
Pada zaman kolonial, banyak pejabat Belanda dan penduduk Eropa lainnya yang memilih untuk tidak menikah secara resmi dengan perempuan lokal. Hal ini sering kali disebabkan oleh berbagai kendala, termasuk biaya dan risiko yang tinggi untuk membawa istri dari Eropa ke Hindia Belanda.
Kondisi ini menciptakan kebutuhan akan “teman hidup” yang sering diperoleh melalui hubungan informal dengan perempuan lokal, banyak di antaranya adalah budak. Hubungan ini mencerminkan dinamika sosial dan kekuasaan yang kompleks pada masa itu.
Sejarah Kumpul Kebos di Indonesia: Dari Zaman Kolonial Hingga Kini
Kehidupan rumah tangga para pejabat Belanda di Hindia Belanda sering kali berlangsung tidak konvensional. Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff adalah salah satu tokoh yang terlibat dalam praktik ini.
Di bawah kepemimpinannya, wanita lokal yang dikenal dengan nama Helena Pieters menjadi “teman hidup” dan tinggal di rumahnya. Dari hubungan ini, mereka memiliki keturunan yang memperlihatkan keberlangsungan tradisi tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan tersebut tidak selalu bersifat sementara.
Kasus lain yang menarik perhatian adalah Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk. Ia memilih untuk hidup bersama dengan seorang budak perempuan setelah tiba di Jawa, dan dari hubungan ini lahir banyak anak yang kemudian dikirim ke Belanda.
Dampak Sosial dari Praktik Kumpul Kebos
Praktik kumpul kebo ini ternyata tidak hanya berlaku bagi para pejabat tinggi. Kalangan elit lainnya juga terlibat dalam kehidupan bersama tanpa ikatan resmi. Para penasihat dan anggota dewan pun tidak luput dari fenomena ini.
Thomas Stamford Raffles, sebagai contoh, tidak menolak hubungan bawahannya dengan budak perempuan. Ini menciptakan lingkungan sosial yang mengizinkan praktik semacam ini terus berlangsung tanpa stigma yang berat dari masyarakat pada umumnya.
Hal ini juga membentuk pandangan sosial di kalangan masyarakat saat itu. Istilah “kumpul Gerbouw,” yang berasal dari kata Belanda yang berarti bangunan atau rumah, digunakan untuk menyindir mereka yang hidup berbagi atap tanpa ikatan resmi.
Pembagian Kekuasaan dan Eksploitasi Perempuan
Di tingkat yang lebih rendah, pegawai dan prajurit Eropa juga menjalani kehidupan yang serupa, dengan banyak dari mereka memilih untuk tinggal bersama perempuan lokal tanpa komitmen pernikahan. Hal ini menunjukkan bahwa praktik ini meluas ke berbagai lapisan masyarakat.
Dengan memanfaatkan posisi sosial dan kekuasaan mereka, banyak pria Eropa mengeksploitasi perempuan lokal sebagai “teman hidup.” Ini menciptakan dinamika yang merugikan dan memperkuat ketimpangan gender dan kekuasaan dalam masyarakat pada waktu itu.
Di lain sisi, dengan adanya anak-anak dari hubungan ini, ada pula yang mencoba untuk menjembatani dua budaya tersebut. Meskipun demikian, banyak dari keturunan ini tetap terjebak dalam stigma sosial yang dimiliki oleh orangtua mereka.