Perpajakan sering kali menjadi topik yang memicu berbagai polemik di masyarakat, terutama di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa pajak tidak hanya menjadi sumber pendapatan negara, tetapi juga seringkali menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan terkait keadilan dan kepatutan dalam penerapannya.
Dalam konteks sejarah Indonesia, banyak kisah yang menggambarkan betapa beratnya beban pajak bagi masyarakat, khususnya pada masa pemerintahan kolonial. Salah satu kisah yang menarik perhatian adalah pengalaman seorang pejabat pajak di Jakarta pada era VOC, yang membawa dampak mendalam bagi masyarakat pada waktu itu.
Dalam konteks tersebut, muncul nama Qiu Zuguan, seorang pejabat yang bertanggung jawab atas lembaga Boedelkalmer. Boedelkalmer berfungsi mengurus harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orang-orang China di Batavia, di tengah pergerakan sejumlah besar orang China kembali ke tanah kelahiran mereka.
Pembentukan Boedelkalmer dan Tugasnya di Batavia
Boedelkalmer memiliki peran krusial dalam pengelolaan aset-aset yang ditinggalkan oleh orang-orang China yang kembali ke negara asal. Qiu Zuguan, yang ditunjuk sebagai kepala lembaga tersebut, memiliki tanggung jawab untuk mengurusi pajak yang dihasilkan dari aset yang ditinggalkan dan memastikan penerimaan pajak berlangsung lancar.
Sejak menjabat pada tahun 1715, Qiu dikenal oleh masyarakat sebagai sosok yang mengekspresikan kebijakan pajak yang keras. Kebijakan-kebijakan yang diimplementasikannya sering menambah beban rakyat, membuat mereka merasa tertekan dan tidak berdaya.
Salah satu kebijakan yang sangat kontroversial adalah penarikan pajak untuk setiap aspek kehidupan, termasuk acara pernikahan. Setiap pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan diwajibkan untuk membayar pajak, yang tentunya menambah tekanan finansial bagi mereka.
Keberatan Masyarakat Terhadap Pajak yang Berat
Pembebanan pajak tidak hanya terbatas pada perkawinan, tetapi juga meliputi pajak kematian. Ketika seseorang meninggal, keluarga harus membayar biaya untuk mengeluarkan sertifikat kematian, sebuah tindakan yang dianggap tidak manusiawi oleh sejumlah kalangan.
Ketidakpuasan di kalangan masyarakat semakin meningkat, dan Qiu menjadi simbol dari berbagai keluhan tersebut. Banyak orang merasa bahwa tindakan pemungutan pajak yang dikeluarkan olehnya sangat memberatkan, terutama di saat-saat yang sensitif seperti menghadapi perpisahan karena kematian.
Sejarah mencatat bahwa wanita dan pria China kerap kali menjadi target utama pajak, terkena denda dan sanksi yang membuat hidup mereka semakin sulit. Hal ini menambah citra negatif terhadap Qiu di mata masyarakat.
Tragedi dan Penolakan Terhadap Qiu Zuguan
Qiu Zuguan mengalami nasib tragis setelah kematiannya pada tahun 1721. Selama hidup, tindakan dan kebijakannya membuatnya tidak disukai oleh banyak orang, dan saat ia meninggal, tidak ada yang bersedia mengangkat peti matinya menuju pemakaman.
Peristiwa ini menggambarkan kemarahan dan kebencian masyarakat terhadap kebijakan yang memberatkan mereka. Meskipun secara tradisional orang yang meninggal akan diantar dengan hormat, dalam kasus Qiu, hal itu tidak terjadi.
Setelah berbagai cara dilakukan oleh keluarganya untuk meminta bantuan warga, penolakan tetap terjadi. Terpaksa mereka menyewa orang untuk mengangkat dan menguburkan Qiu, menciptakan ironi dalam sejarah perpajakan di Batavia.
Sejarah perpajakan di Indonesia adalah cerminan dari ketidakadilan yang sering kali dialami oleh masyarakat. Mereka yang bertanggung jawab untuk menarik pajak seharusnya mempertimbangkan kondisi dan beban yang dihadapi masyarakat, agar kebijakan yang diterapkan tidak justru menambah penderitaan. Dalam banyak kasus, ketidakpuasan ini bisa berujung pada penolakan yang memiliki dampak jangka panjang.
Kesadaran akan pentingnya memperlakukan masyarakat dengan adil dalam masalah perpajakan sangat relevan hingga kini. Pengalaman sejarah Qiu Zuguan adalah pengingat bahwa transparansi dan keadilan dalam pengelolaan pajak sangatlah penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat.
Dengan memahami sejarah dan pengalaman masa lalu, kita diharapkan mampu merumuskan kebijakan perpajakan yang lebih baik di masa depan. Sangat penting untuk mewujudkan sistem yang tidak hanya mendatangkan pemasukan bagi negara, tetapi juga memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.