Kisah mengenai perceraian, perselingkuhan, dan poligami di kalangan pejabat tinggi negara bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam sejarahnya, fenomena ini sering kali mengundang perhatian besar dari masyarakat, terutama ketika menyangkut individu yang memiliki pengaruh dan wewenang.
Salah satu contoh mencolok dari perilaku menyimpang ini adalah kisah Jusuf Muda Dalam (JMD), seorang pejabat negara yang terlibat dalam skandal perselingkuhan yang melibatkan enam istri dan banyak perempuan lain. Kehidupan pribadi JMD yang bertentangan dengan norma hukum dan moral ini menciptakan geger di tengah masyarakat.
Skandal ini terungkap pada pertengahan tahun 1966, bersamaan dengan kasus korupsi besar yang menghebohkan saat dia menjabat sebagai Menteri Urusan Bank Sentral. JMD diduga menyalahgunakan uang negara dengan nilai yang sangat besar, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Kasus Korupsi dan Hidup Mewah Serta Poligami
Melalui investigasi yang seksama, JMD diduga tidak hanya menggunakan uang negara untuk kepentingannya sendiri, tetapi juga untuk memberikan fasilitas kepada para perempuan yang terlibat dalam hidupnya. Pengadilan bahkan menampilkan sejumlah perempuan yang terkait dan mengungkap jaringan romansa JMD yang kompleks.
Laporan menyebutkan bahwa total ada 24 perempuan yang terlibat, terdiri dari enam istri sah dan 18 perempuan lain yang menjadi simpanannya. Setiap perempuan dilaporkan memiliki kisah yang mirip, di mana mereka ditipu mengenai status pernikahan JMD.
Salah satu saksi adalah Djufriah, istri kelima JMD, yang mengaku tidak mengetahui bahwa JMD memiliki banyak istri. Dia menikah tanpa menyadari akan menjadi bagian dari hidup seorang pejabat yang memiliki banyak urusan dengan perempuan lain.
Kisah Istri-Istri yang Terkait dengan JMD
Djufriah menikah dengan JMD pada 30 Juli 1965 dan menerima berbagai harta berharga setelah pernikahan. Namun, pernikahan yang dijanjikan indah itu hanya bertahan selama dua bulan karena konflik yang muncul. Dia mengungkapkan bahwa dirinya meminta cerai tanpa sepengetahuan JMD.
Selain Djufriah, ada pula Sri Narulita yang menikah dengan JMD pada 28 Februari 1966. Mirip dengan Djufriah, Sri juga tidak mengetahui status pernikahan JMD yang sebenarnya dan mengira bahwa dia adalah istri kedua. Hal ini menambah kompleksitas situasi yang dihadapi JMD di persidangan.
Selama persidangan, kedua perempuan ini mengungkapkan rasa dendam terhadap JMD. Mereka merasa tertipu oleh informasi yang tidak jelas mengenai status pernikahan JMD, yang menciptakan ketegangan dalam hubungan mereka dengan sang pejabat.
Pemaparan Skandal di Tengah Krisis
Skandal ini bukan hanya menyentuh aspek pribadi JMD, tapi juga cara hidupnya yang dianggap sangat mewah di tengah kesulitan ekonomi yang dialami rakyat. Indonesia saat itu sedang berjuang keluar dari krisis ekonomi, dan gaya hidup JMD menjadi sorotan tajam di mata publik.
Dia diketahui gemar memberikan suap dalam bentuk barang mewah dan uang tunai kepada perempuan-perempuan yang terlibat dalam hidupnya. Meskipun demikian, para perempuan tersebut tidak mengetahui bahwa sumber uang yang mereka terima adalah hasil dari korupsi yang dilakukan JMD, yang melanggar kepercayaan publik terhadap pejabat negara.
Dalam sidang, JMD mengaku tidak mengetahui dengan jelas bahwa perbuatannya melanggar hukum dan justru mengalami kebingungan atas hukum yang ada. Beberapa pernyataan yang ia buat pun membuat suasana sidang menjadi tegang dan mengundang reaksi keras dari publik.
Vonis dan Akhir Kisah Tragis Jusuf Muda Dalam
Pada 8 September 1966, majelis hakim menjatuhkan vonis berat terhadap JMD, yaitu hukuman mati atas tindak pidana korupsi, penggelapan uang negara, dan pelanggaran hukum perkawinan. Seluruh kesaksian dari saksi-saksi dianggap memberatkan dan memberikan bukti kuat akan tindak kejahatan yang dilakukan JMD.
Meski demikian, vonis tersebut tidak pernah dijalankan. Jusuf Muda Dalam meninggal dunia pada September 1976 di dalam penjara akibat tetanus sebelum dapat dieksekusi. Kejadian ini menandai akhir dari eksistensinya sebagai salah satu pejabat yang terlibat dalam skandal besar.
Akhirnya, perjalanan hukum JMD memberikan pelajaran berharga tentang perilaku korup di kalangan pejabat negara. Di era kepemimpinan selanjutnya, peraturan baru dikeluarkan untuk mencegah praktik poligami di antara pejabat dan pegawai negeri, menunjukkan dampak dari skandal ini yang lebih luas terhadap sistem hukum dan moralitas publik.











