Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan dalam Kabinet Merah Putih pada Senin, 8 September 2025. Dalam reshuffle ini, terdapat lima menteri yang diganti, termasuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta Menteri Koperasi.
Perubahan dalam susunan menteri ini sering kali mencerminkan dinamika yang terjadi di dalam pemerintahan. Tindakan reshuffle menjadi hak prerogatif presiden, di mana perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.
Sejarah reshuffle kabinet di Indonesia telah berlangsung sejak awal kemerdekaan. Momen-momen tersebut sering kali menjadi titik balik dalam perjalanan politik dan pemerintahan di tanah air.
Sejarah Awal Reshuffle Kabinet di Indonesia yang Pertama
Reshuffle kabinet pertama kali dilakukan oleh Presiden Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin. Pada bulan Februari tahun 1966, Soekarno merombak Kabinet Dwikora I dan membentuk Kabinet Dwikora II di tengah gejolak demonstrasi mahasiswa yang menuntut perubahan.
Dalam periode itu, banyak sekali masalah sosial dan ekonomi yang tidak terkelola dengan baik, mengakibatkan banyaknya ketidakpuasan dari masyarakat. Ketidakstabilan politik menciptakan kondisi yang mendesak untuk dilakukan perubahan dalam pemerintahan.
Dalam konteks ini, Soekarno akhirnya memutuskan untuk merombak kabinet sebagai langkah penyelamatan. Meskipun demikian, ia menyangkal bahwa keputusan itu diambil hanya karena tekanan dari demonstrasi rakyat.
Desakan Masyarakat dan Respon Pemerintah yang Tertunda
Pada saat itu, banyak orang merasakan dampak langsung dari krisis yang berkepanjangan. Harga bahan pangan dan barang kebutuhan pokok melambung tinggi, dengan berbagai penuntutan rakyat yang semakin menguat.
Gerakan mahasiswa yang berada di garis depan pengorganisasian demonstrasi, tidak hanya menuntut perubahan kabinet tetapi juga perbaikan kondisi sosial-ekonomi. Tuntutan tersebut dikenal dengan nama Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat, yang menginginkan kebijakan drastis dari pemerintah.
Soe Hok Gie, seorang aktivis terkenal saat itu, mencatat betapa lambannya pemerintah dalam merespon desakan dan tuntutan ini. Dia mencatat kegagalan Soekarno untuk mengatasi krisis sebagai alasan utama mengapa situasi semakin memburuk.
Pergeseran Kekuasaan dan Manuver Politik Soekarno
Dalam upaya menjawab desakan tersebut, Soekarno melanjutkan langkah politiknya dengan merombak kabinet. Namun, hasilnya tidak seperti yang diharapkan, karena perubahan tersebut tetap dipandang tidak memadai.
Meski ada pengangkatan beberapa menteri baru, banyak masyarakat yang merasa belum puas dengan keputusan tersebut. Karakteristik menteri yang baru diangkat memicu skeptisisme, terutama kaitan mereka dengan partai yang sebelumnya terlibat dalam berbagai masalah.
Demonstrasi masyarakat terus berkembang, dan situasi politik semakin tidak terkendali, mendorong Soekarno untuk mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret. Surat tersebut adalah langkah crucial yang memberikan kewenangan kepada Jenderal Soeharto untuk mengendalikan situasi keamanan.
Peristiwa ini menandai titik balik dalam sejarah Indonesia. Kekuasaan Soekarno mulai berkurang secara signifikan, sementara posisi Soeharto semakin menguat. Dua tahun kemudian, Soeharto diangkat menjadi Presiden kedua Indonesia.
Reshuffle kabinet, yang awalnya dimaksudkan untuk memperkuat posisi Soekarno, justru berujung pada kejatuhannya. Momen tersebut menunjukkan bagaimana dinamika politik dapat berubah dengan cepat dan bagaimana ketidakpuasan rakyat dapat mengubah peta kekuasaan.
Kisah reshuffle ini menyimpulkan bahwa perubahan dalam pemerintahan tidak saja teknis, tetapi juga melibatkan pertimbangan politik yang lebih luas. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya respons terhadap tuntutan masyarakat dalam menjaga stabilitas pemerintahan.