Presiden Prabowo Subianto akan memberikan pidato di Sidang Umum ke-80 PBB yang akan berlangsung di New York, Amerika Serikat pada tanggal 23 September 2025. Kehadirannya di forum ini bukan sekadar formalitas, melainkan juga merupakan pengulangan jejak diplomasi yang ditinggalkan oleh sang ayah, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Sebagai bagian dari tradisi keluarga pejuang diplomasi, kehadiran Presiden Prabowo sangat diharapkan dapat melanjutkan upaya Indonesia dalam memperkokoh posisi di kancah internasional. Menurut Dino Patti Djalal, pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), harapan ini sangat besar mengingat latar belakang dan pengalaman yang dimiliki Prabowo.
Dengan mengingat perjuangan almarhum Prof. Sumitro, Indonesia berharap pidato yang disampaikan Presiden Prabowo dapat memberikan dampak positif bagi dunia internasional. Sebelumnya, Prof. Sumitro berkontribusi secara signifikan di PBB, yang kini menjadi warisan bagi generasi penerus.
Dampak Sejarah dan Diplomasi Keluarga Djojohadikusumo
Pergulangan jejak diplomasi dalam diri Presiden Prabowo memiliki makna historis yang dalam. Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada tahun 1948-1949, masa penting dalam pembentukan identitas dan posisi Indonesia di dunia internasional. Kiprah diplomasi ini menjadi salah satu tonggak sejarah yang tak terlupakan.
Salah satu tindakan diplomatik paling bersejarah yang dilakukan oleh Sumitro adalah pengiriman memorandum kepada pejabat tinggi AS saat itu. Memorandum tersebut, yang dimuat dalam media terkemuka di dunia, mengutuk agresi militer Belanda terhadap Indonesia dan menegaskan pentingnya solidaritas internasional dalam menghadapi ancaman tersebut.
Melalui memorandum tersebut, Sumitro menunjukkan komitmennya untuk memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Tindakannya ini mencerminkan betapa pentingnya diplomasi dalam mencapai tujuan politik dan menjaga perdamaian dunia.
Upaya Diplomatik di Tengah Ketegangan Global
Prof. Sumitro tidak hanya berhenti pada pengiriman memorandum. Ia juga melakukan berbagai upaya diplomatik lainnya, termasuk membangun solidaritas dengan negara-negara Asia. Pada tahun 1949, ia berhasil menggalang dukungan negara-negara Asia di India untuk menentang agresi Belanda.
Solidaritas ini menjadi bukti bahwa diplomasi yang baik dapat membuka jalan untuk menyelesaikan konflik. Melalui pendekatan persuasif, Sumitro berhasil membangun dukungan yang kuat dari banyak pihak untuk menuntut penghentian agresi dan kebebasan bagi para pemimpin Republik Indonesia.
Puncak dari semua upaya ini adalah pengakuan kedaulatan Indonesia yang diraih melalui Konferensi Meja Bundar. Momen bersejarah ini menjadi simbol keberhasilan diplomasi Indonesia pada era tersebut hingga menjadikannya negara yang diakui oleh dunia internasional.
Peran PBB dalam Memperkokoh Ketertiban Dunia
Sidang Umum PBB adalah wadah penting bagi negara-negara untuk berdialog dan berbagi pandangan mengenai berbagai isu global. Kehadiran Presiden Prabowo di forum ini menjadikannya kesempatan untuk menyuarakan visi Indonesia dalam memperkokoh multilateralisme dan kerjasama internasional.
Melalui pidatonya, Presiden Prabowo diharapkan dapat menggugah kesadaran dunia mengenai pentingnya kerjasama dalam menghadapi tantangan global. Defender solidaritas dunia yang keras, Indonesia terus berupaya mengajak negara-negara lain untuk bekerja sama dalam membangun dunia yang lebih baik.
Adanya peran aktif Indonesia di PBB juga diharapkan dapat membantu menuntaskan berbagai isu yang masih menjadi tantangan global saat ini, seperti perubahan iklim dan konflik antar negara. Pidato ini bukan hanya formalitas, melainkan sebuah langkah untuk menggandeng negara lain dalam mencari solusi yang berkelanjutan.










