Perayaan Hari Sinterklas yang jatuh setiap 5 Desember merupakan bagian penting dari tradisi yang membawa nuansa meriah. Namun, sayangnya, tradisi yang pernah hidup di Indonesia ini kini hampir punah, serta meninggalkan kenangan yang tertinggal di benak masyarakat.
Hari Sinterklas terilhami oleh tradisi Belanda, di mana saat itu masyarakat merayakan kedatangan sosok Sinterklas beserta pembantunya. Keduanya membawa keceriaan dengan membagikan hadiah kepada anak-anak jelang malam Natal, yang kemudian menyatu dengan budaya lokal Indonesia yang kaya.
Perayaan ini seharusnya menjadi waktu penuh suka cita bagi keluarga, namun ada sejarah yang menjadikan perayaan itu menghilang. Hal ini tak lepas dari dinamika sosial dan politik yang mempengaruhi hubungan antara Indonesia dan Belanda selama masa kolonial serta pasca kemerdekaan.
Asal Usul Tradisi Sinterklas di Indonesia
Tradisi Hari Sinterklas berasal dari Belanda, di mana setiap tahun mereka merayakan dengan keceriaan yang melibatkan anak-anak. Dalam tradisi ini, Sinterklas digambarkan sebagai sosok yang mengunjungi rumah-rumah melalui cerobong untuk membagikan hadiah.
Ketika Belanda menjajah Indonesia, mereka membawa tradisi ini bersamaan dengan nilai-nilai budaya lainnya. Anak-anak di Indonesia menyesuaikan tradisi tersebut dengan meletakkan sepatu mereka di bawah jendela, berharap Sinterklas akan memberikan hadiah.
Semaraknya perayaan ini terus berlangsung selama bertahun-tahun. Tak hanya di kalangan orang Belanda, tetapi juga masyarakat Indo-Belanda dan umat Kristiani lainnya yang merayakan Hari Sinterklas dengan penuh suka cita.
Momen Bahagia yang Berubah Menjadi Duka
Hari Sinterklas menjadi salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh anak-anak, di mana mereka berharap banyak hadiah dari Sinterklas. Kenangan tersebut abadi di benak mereka, seperti yang pernah dikenang oleh Amelia Yani, yang menuturkan keceriaan masa kecil saat menantikan kehadiran Sinterklas.
Namun, puncak nostalgia tersebut berubah menjadi kisah duka pada tahun 1957. Setelah kekacauan diplomasi yang dihadapi oleh Indonesia di arena internasional, muncul sentimen anti-Belanda yang memicu dampak besar di kalangan masyarakat.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno mengambil langkah tegas untuk mengusir warga Belanda yang masih tinggal di Indonesia. Keputusan ini mengubah suasana yang sebelumnya meriah menjadi tampak kelam dan penuh ketegangan, terutama pada Hari Sinterklas itu sendiri.
Pengusiran Warga Belanda dan Dampaknya Terhadap Tradisi
Pada 5 Desember 1957, bertepatan dengan Hari Sinterklas, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk mengusir sekitar 46.000 warga Belanda. Langkah ini menandai akhir dari perayaan yang selama ini dinikmati oleh banyak orang.
Dampak dari peristiwa tersebut sangat luas, di mana banyak warga Belanda yang terpaksa segera meninggalkan Indonesia dengan terburu-buru. Mereka mengurus segala sesuatunya untuk pergi, menjadikan momen itu penuh kesedihan.
Sejak saat itu, Hari Sinterklas yang seharusnya dirayakan dengan gembira beralih menjadi kenangan pahit. Dalam waktu singkat, perayaan ini hampir seluruhnya hilang dari ingatan masyarakat Indonesia, terbawa arus sejarah dan pergolakan yang terjadi pada masa itu.











